Koto Anau Dari Sudut Histori. Nagari Koto Anau merupakan bagian dari konfederasi Kubuang Tigo Baleh
yang secara adat disebut sebagai Nagari Adik. Asal-usul nama Nagari
Koto Anau berasal dari kata koto anam yang berarti enam buah koto
(kampung) yaitu Anam Koto di Dalam dalam wilayah Kerajaan Koto Anau masa
lalu yang meliputi Tanah Sirah, Koto Gadang, Batu Banyak, Koto Laweh,
Limau Lunggo, dan Batu Bajanjang. Dalam perkembangan sejarahnya, setelah
Kerajaan Koto Anau tidak eksis lagi, Batu Banyak, Koto Laweh, Limau
Lunggo, dan Batu Bajanjang kemudian memisahkan diri dan membentuk nagari
sendiri.
Hanya Tanah Sirah dan Koto Gadang yang masih bertahan dan
tetap menggunakan nama Koto Anau untuk menyebut nama nagarinya. Nama
Nagari Koto Anau kadang-kadang juga disebut Koto Gadang karena pusat
nagarinya berada di Koto Gadang.
![]() |
Alam di Koto Anau |
Nagari Koto Anau terletak di daerah Kubuang Tigo Baleh yang setelah
Indonesia merdeka merupakan bagian dari Kabupaten Solok. Bekas wilayah
Kerajaan Koto Anau kemudian kemudian disebut Kecamatan Lembang Jaya yang
wilayahnya di samping meliputi Anam Koto di Dalam juga mencakup Ampek
Koto Kapak Redai yang merupakan bekas Kerajaan Camin Taruih dan Kerajaan
Camin Talayang yang kemudian menjadi wilayah Gunung Selasih IV-Koto
yang meliputi Bukik Sileh, Salayo Tanang, Kampung Batu Dalam, dan
Simpang Tanjung Nan Ampek.
Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek dan Kampung
Batu Dalam pada tahun 2002 memisahkan diri dari Kecamatan Lembang Jaya
dan membentuk Kecamatan Danau Kembar.
Menurut Abdurrahman, seorang pemangku adat di Koto Anau, penduduk
Koto Anau yang mula-mula berasal dari daerah Kerajan Melayu. Pimpinan
rombongannya adalah Rajo Kaciak. Rombongan ini kemudian bertemu dengan
rombongan yang datang dari Pariangan melalui Guguk. Tidak dapat
diketahui waktu yang tepat mengenai kedatangan penduduk yang pertama di
Koto Anau.
Dalam konfederasi Kubuang Tigo Baleh, Koto Anau dikenal sebagai adik,
Guguak sebagai kakak, Solok sebagai mande (ibu), dan Selayo sebagai
bapak (sumando). Sebagai mande Solok memiliki sembilan suku dan sembilan
korong, Selayo sebagai bapak memiliki tiga belas suku dan tiga belas
jorong, Guguk sebagai kakak memiliki enam suku dan tiga koto, dan Koto
Anau sebagai adik memiliki tiga suku dan enam koto.
Menurut tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun di Kota
Anau, diriwayatkan bahwa rombongan kakak yang datang dari Guguak
mengantar rombongan adik untuk mencari daerah tempat pemukiman baru.
Dalam perjalanan, mereka beristirahat di sebuah guguak (bukit kecil)
untuk berunding mencari kata mufakat. Tempat tersebut kemudian dinamakan
Guguak Bayua yang berarti guguak tampek baiyo (bukit kecil tempat
bermusyawarah), yang terletak Jorong Kandang Jambu sekarang.
Setelah bermusyawarah, rombongan tersebut kemudian meneruskan
perjalanan mereka sampai ke daerah yang sekarang bernama Panta yang
maksudnya tempat mengantarkan rombongan adik. Kemudian dibuatlah
pemukiman di Bancah dan Taratak Panai. Rombongan kakak yang datang dari
Guguak kemudian kembali ke Guguak.
Setelah penduduk Bancah semakin banyak, disepakatilah untuk memcari
daerah baru karena tanah pertanian sudah semakin sempit. Tempat yang
dituju adalah daerah yangs ekarang bernama Koto Tingga dan Pakan Kamih.
Dari sini pemukiman kemudian meluas ke Tanah Sirah yang disertai dengan
pembukaan tanah baru untuk areal perladangan dan persawahan.
Bersamaan dengan itu, beberapa kepala kaum menuju ke daerah Ului.
Sebagian di antaranya juga turun ke Bingkuang, langsung ke Pintu Raya,
mendaki ke Batu Banyak, dan terus ke Simpang Tanjung Nan Ampek. Beberapa
kepala kaum ada juga yang menyebar ke arah Sungai Janiah. Dari sini
muncul ungkapan, Koto Nan Anam, Tanah Sirah, Sungainyo Janiah, Limau
Lunggo Bajanjang Batu.
Di Nagari Koto Anau hanya terdapat tiga suku, yaitu Melayu, Caniago,
dan Tanjuang. Suku Melayu terdiri dari lima korong, yaitu Melayu,
Bendang, Madailiang, Panai, dam Sikuaji. Suku Caniago terdiri dari empat
korong, yaitu Caniago Laweh, Caniago Sungai Dareh, Caniago Taruk
Marunggai, dan Caniago Hilia (Supanjang). Suku Tanjuang terdiri dari
empat korong, yaitu Tanjuang, Sikumbang, Payobada, dan Kutianyia.
![]() |
Foto Rumah Gadang Jadul |
Ciri khas di Nagari Koto Anau sehubungan dengan pendirian rumah
gadang adalah rumah tersebut harus menghadap ke Gunung Talang yang
melambangkan bahwa Gunung Talang merupakan tempat yang dihormati oleh
masyarakat Koto Anau. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat
pra-Islam yang menganggap bahwa puncak gunung merupakan tempat
bersemayamnya dewa-dewi, sebagaimana Gunung Merapi yang sangat dihormati
oleh masyarakat Luhak Tanah Datar.
Hampir semua rumah di Koto Anau memiliki atau dilalui oleh saluran
air atau banda. Air ini terutama digunakan untuk mencuci dan berwudhu.
Untuk mandi, sebelum memiliki kamar mandi masyarakat biasanya mandi di
pincuran yang terdapat di semua surau yang ada di Koto Anau. Untuk
memasak, sebelum masyarakat menggunakan air bersih dari mata air yang
banyak terdapat di Nagari Koto Anau.
Di tengah-tengah Nagari Koto Anau mengalir Sungai Batang Lembang yang
berhulu di Danau Dibawah dan bermuara di Danau Singkarak. Pada tahun
1978, aliran Sungai Batang Lembang yang cukup deras ini dimanfaatkan
untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sebelumnya masyarakat Koto
Anau juga telah mengenal listrik, yang digerakkan diesel yang dibeli
dengan swadaya masyarakat. Listrik tersebut aktif tahun 1956 sampai
tahun 1968.
Nagari Koto Anau memiliki luas wilayah 48 Km2 yang terdiri dari areal
persawahan 1.300 Ha, tegalan/ladang 1.550 Ha, perumahan 800 Ha, dan
lain-lainnya 1.550 Ha. Berdasarkan letak geografisnya, Nagari Koto Anau
sebelah utara berbatasan dengan Nagari Muara Panas (Kecamatan Bukit
Sundi), sebelah selatan dengan Nagari Batu Banyak dan Limau Lunggo,
sebelah barat dengan Nagari Cupak (Kec. Gunung Talang) dan Sungai Janiah
(Kec. Gunung Talang), sebelah timur berbatasan dengan Nagari Parambahan
(Kec. Bukit Sundi).
Koto Anau dalam arti adat lama adalah suatu daerah yang wilayahnya
meliputi Kecamatan Lembang Jaya dan Danau Kembar sekarang ditambah
Sungai Janiah (sekarang bagian dari Kecamatan Gunung Talang). Daerah ini
sebelumnya bernama Salasiah Anam Koto, gunungnya bernama Gunung
Salasiah (sekarang Gunung Talang), dan di balik Gunung Salasiah terdapat
Lubuak Salasiah.
Salasiah Anam Koto kemudian berubah nama menjadi Koto Nan Anam dan
dalam perkembangan selanjutnya disebut Koto Anau. Sebelum tahun 1970-an,
Koto Anau merupakan penghasil cengkeh yang terbesar di Minangkabau.
Hasil bumi ini menyebabkan masyarakat Koto Anau hidup makmur dan
berkecukupan sehingga dapat dikatakan merupakan nagari terkaya di
Minangkabau pada waktu itu. Kekayaan Koto Anau ini menyebabkan banyak
warga dari nagari-nagari di sekitarnya berdatangan ke Koto Anau untuk
mencari penghidupan yang lebih baik.
Penyakit Mati Bujang dan Mati Gadis yang menyerang tanaman cengkeh di
Koto Anau pada tahun 1970-an menyebabkan tanaman cengkeh banyak yang
mati. Hal ini menyebabkan banyak orang Koto Anau yang kehilangan mata
pencaharian sehingga banyak orang Koto Anau yang kemudian pergi merantau
ke beberapa kota di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat. Nagari
Koto Anau yang pernah jaya dan menjadi nagari terkaya di Minangkabau
pada masa lalu berkat cengkeh, sekarang tidak banyak lagi dikenal orang.
![]() |
Balai Adat Koto Anau |
Sebagian besar perantau asal Koto Anau ini kemudian memilih profesi
sebagai pedagang daging, terutama di Kota Solok, dan Padang. Profesi
mereka ini menyebabkan orang Koto Anau di beberapa daerah di Sumatera
Barat kemudian dikenal sebagai tukang bantai yang maksudnya tentu saja
hanya untuk berolok-olok dan bercanda saja.
Generasi muda Sumatera Barat sekarang ini lebih mengenal Koto Anau
sebagai nagari asal para pedagang daging yang banyak terdapat di
berbagai kota di Sumatera Barat. Pasar Koto Anau yang dahulu merupakan
gudang cengkeh terbesar dan sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang
dari berbagai daerah di Sumatera Barat, sekarang sudah tidak ada lagi.
Bekas pasar tersebut sekarang telah menjadi lokasi gedung SMA Negeri 1
Lembang Jaya